Merantau

Merantau. Bagi keluarga saya, terutama dari garis keturunan ibu, merantau adalah sesuatu yang dihindari. Nenek saya bercerita.. dulu ibu saya dan adik-adiknya memang diminta untuk tdak pergi merantau. Alasannya adalah biaya… nanti kalau merantau ada biaya kos, ada biaya  transport, biaya makan, dll. Kalau merantau biaya akan semakin besar, katanya. Mungkin alasan itu logis mengingat kakek saya hanya seorang PNS yang gajinya tidak seberapa yang harus cukup untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya. Prinsipnya, anak-anaknya harus sekolah, bergelar, dan bekerja. Namun syaratnya tidak usahlah merantau. Katanya kurang lebih seperti itu.

Sampai akhirnya di generasi berikutnya, yaitu ibu saya, pada awalnya memang secara halus meminta saya untuk tidak merantau. Tidak dinyatakan, tetapi terlihat dari kekhawatirannya bila saya pergi jauh. Kalau ini mungkin bukan alasan ekonomi tetapi lebih karena rasa sayang beliau terhadap kami bila kami jauh dari keluarga. Nyatanya saya dan adik saya setidaknya pernah merantau ke kota lain. Adik saya karena melanjutkan sekolahnya ke kota Bogor, dan saya karena bekerja di Jakarta. Apakah ada masalah dengan merantau kami kali itu? Tidak. Karena setiap minggu kami masih bisa pulang ke Bandung, tidak perlu khawatir dengan ongkos pulang-perginya.

Nah, cerita merantau jadi berbeda ketika saya sudah menikah. Ini adalah merantau yang sebenar-benarnya. Jauh dari keluarga, jauh dari saudara, jauh dari sahabat karib, jauh dari kolega, dan jauh dari Indonesia. Dimana smenjadi sadar bahwa merantau ini adalah suatu proses pendewasaan diri. Dimana saya menjadi sadar bahwa tiada tempat bergantung selain kepada Allah SWT. Dimana saya menjadi sadar bahwa memang sebaiknya setelah menikah itu suami istri tinggal bersama dan mandiri supaya bisa tumbuh dan berkembang bersama, tidak tumbuh sendiri-sendiri. Dimana saya menjadi sadar bahwa saya sedang menjalani hidup dengan tanggung jawab. Dimana saya menjadi sadar bahwa inilah peran yang sedang saya jalani. Dimana saya menjadi sadar bagaimana caranya bertahan dan menjalani hidup. Dan masih banyak kesadaran-kesadaran lain yang pasti akan saya temukan selama proses merantau ini.

Dengan demikian feeling merantau di keluarga saya berubah karena sudah ada generasi yang merantau dengan sebenar-benarnya. Pengalaman merantau sudah pecah telor di keluarga kami. Akankah generasi berikutnya menjadi lebih berani dan lebih siap untuk merantau? We’ll see…

Thanks Allah.ya

Ibu Rumah Tangga

Ternyata oh ternyata menjadi ibu rumah tangga itu luar biasa sibuknya. Pekerjaan tiada henti selama 24 jam. Seputar anak, seputar suami, seputar dapur, seputar kamar tidur, seputar kamar tamu, seputar kamar mandi…. oh oh pantas saja ibu jadi mbah google di rumah. Coba saja perhatikan, “Bu, kaos kaki Bapak dimana?”, “Bu, lihat kunci motor aku nggak?”, “Bu, jam tangan aku dimana yaa aku lupa nyimpen”, “Bu, masak apa?” dll… Wahhhh segudang pertanyaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga ibu pasti tahu (biasanya). HEBAT YAAA IBU-IBU!

Setiap hari ibu rumah tangga selalu dapat kejutan. Pekerjaan memang berulang, itu lagi-itu lagi dengan tujuan akhir sama: RAPI, BERES, KENYANG, HEMAT, tapi prosesnya yang beda. Banyak distraksinya sis! Tapi mungkin beda cerita sih kalau anaknya sudah besar dan mandiri, oh ya, saya juga ga bermaksud men-generalisir ibu rumah tangga seperti yang saya ceritakan disini. Maksud saya adalah saya menceritakan tentang diri sendiri dan mencoba mengejawantahkannya melalui tulisan ini. Maklum, saya newbie jadi ibu rumah tangga, udah gitu baru punya bayi dan hebohnya lagi adalah sekarang saya sedang merantau di negara lain yang jauh dari keluarga #curcolkan haha.

Okaay but the show must go on! Alhamdulillah nya saya menetap di negara maju. Dimana kemudahan di segala bidang kerasa banget, tinggal pinter-pinternya saya beradaptasi dan bersosialisasi. Adaptasi dengan lingkungan yang heterogen, dengan cuaca yang ekstrim, dengan kehidupan mandiri yang (sebaiknya) tidak bergantung pada orang lain, dan dengan kehidupan dimana bayi bergantung pada saya.

Lalu bagaimana cerita saya menjadi ibu rumah tangga? Nano-nano. Saya pernah baca entah dimana bahwa ibu lah yang mengontrol isi rumah, I mean situasi dan kondisi rumah sangat bergantung dengan kondisi emosi ibu. Dan saya jamin itu benar 100%! To be honest saya adalah termasuk pribadi yang mudah emosional. Pada dasarnya sejak dulu saya suka kerapian dan kebersihan tetapi untungnya saya memiliki partner yang tingkat toleransi atas keadaan rumah yang acak-acakan jauh lebih tinggi di atas saya. Jadi kalau menurut saya berantakan, menurut dia belum, itu masih bisa ditoleransi katanya. Jadinya gak menggebu-gebu harus bersih perfect kan? Dan secara natural sejak bersama dia, lambat laun saya mengikuti ritmenya. Saya menjadi lebih toleran dengan yang namanya rumah berantakan. Ini ternyata bekal penting yang harus dimiliki oleh ibu rumah tangga newbie yang tidak memiliki ART, supaya tidak stress melihat rumah kotor, karena pasti akan kotor melulu dan tidak bisa dihindari. Apalagi bahaya kalau sampai memarahi bayi untuk tidak mengacak-acak rumah #ngomongsamakaca.

Lalu masalah me time. Ibu rumah tangga punya me time gak yaa? Saya punya me time gak yaa? Absolutely yes dan harus! Bedanya dengan yang dulu adalah sekarang kebutuhan me time untuk memuaskan saya jauh lebih sederhana. Kalau dulu me time harus ke salon, dipijet, dilulur… nah kalau sekarang dengan mandi dibawah kucuran shower air anget dengan tenang aja sudah lebih dari cukup. Kalau dulu makan steak adalah me time, nah kalau sekarang makan indomie dengan gak terburu-buru aja sudah lebih dari cukup. Kapan me time nya? Gak bisa anytime makanya precious banget. Jadi me time nya adalah pas bayi lagi bobo atau pas partner lagi senggang jadi bisa ganti pemain jaga bayi.

Intinya jadi ibu rumah tangga itu gampang-gampang susah. Kita lah yang mengatur pekerjaan sendiri, sekaligus mengatur emosi. Ruang lingkup kita adalah suami, anak, dan rumah. Kita boleh banget berharap suami dan anak dapat membantu tapi please ekspektasinya jangan terlalu tinggi haha karena pasti ada aja yang kurang menurut kita.

Akhirnya saya berada di titik apa yang mamah rasakan. Maafkan anakmu yaa , Mah. Semoga besok-besok masih ada waktu untuk berbakti kepada kedua orang tua dengan jauh lebih baik dari hari kemarin. Aamiin…

Terakhir…. buat para ibu muda newbie, selamat berjuang juga yaaa. Welcome to the real real real world! Buat yang belum jadi ibu muda, selamat membekali diri ya. Semoga dimudahkan semuanyaaa… aamiin.

Regards,

12.27 AM waktu Netherland

 

Bawa Perasaan: Long Distance Marriage

Sejak usia 2.5 bulan, Aluna ditinggal bapaknya sekolah jauuh sekali. Pulang seminggu sekali itu cerita lama yang gak mungkin terulang beberapa bulan ini. Sebenernya bukan Aluna aja yang ditinggal, tapi saya, ibunya, juga ditinggal. Bedanya, saya sudah paham apa rasanya senang, sedih, dan rindu. Andai saya seperti Aluna mungkin tidak ada yang namanya bawa perasaan, tapi saya tidak mau, karena saya sehat.

Meskipun banyak keluarga disini tapi ada saatnya saya merindukan pasangan. Meskipun setiap minggu video call dan bertatap muka tapi ada saatnya saya membutuhkan pasangan secara nyata. There’s a technology that can’t buy.

Ditinggal pasangan dengan seorang bayi yang masih merah itu sesuatu sekali. Intinya adalah saya harus bisa apapun. Saya harus tahan di segala kondisi karena tidak ada second player yang setara yang bisa menggantikan peran. Contohnya ketika bepergian, ketika saya diharuskan berangkat berdua tapi melihat yang lain bertiga rasanya itu sesuatu sekali, bawa perasaan. Bersyukur Aluna paham ibunya hanya sendiri jadi dia jarang rewel bila jauh dari rumah. Tidur pun tidak sulit jadi ibunya tidak perlu menggendong lama. Meskipun begitu saya sering membisikkan sesuatu kepada Aluna, “Bantu Ibu ya (untuk tidak rewel)”. It works. Alhamdulillah.

Masa-masa usia Aluna ini adalah masa dia mengidentifikasi orang di sekitarnya. Saya sayang Aluna dan nampaknya Aluna pun sudah menunjukkan rasa sayangnya kepada saya. Saya sudah dan sedang menjalani rasanya menjadi ibu. Saya harap nanti bapaknya pun memiliki frekuensi yang sama dengan saya walaupun telah kehilangan masa 2.5 bulan – 6 bulannya Aluna. And viceversa, mudah-mudahan Aluna pun memiliki rasa sayang yang sama untuk bapaknya seperti kepada ibunya.

Untungnya ada yang menguatkan saya kalau saya baper, yaitu Sang MahaBijaksana. Sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk menyesali kondisi atau terus-terusan baper (baper sesekali mah wajar lah ya hehe), karena saya pasti sudah ditempatkan-Nya di kondisi yang sebijaksana mungkin. Dengan demikian saya juga yakin ketika ada hal yang tidak bijaksana percayalah itu adalah suatu kebijaksanaan juga, karena semua telah diatur oleh Sang MahaBijaksana, iya kan? Tinggal kita sendiri, bisa kah kita mengambil hikmahnya?

Semoga, insyaAllah.

20160825_164158.jpg

Sebelum berpisah

Mengatasi Marah Pada Anak

Subyek judul tersebut menitikberatkan kepada sang anak, jadi anaknya yang marah. Berbeda maknanya jika judulnya diganti dengan “Mengatasi Marah Kepada Anak”. Hal ini sangat jelas bahwa sang anak berfungsi sebagai objek dalam kalimat, dengan kata lain orang lain lah yang marah kepada anak. Begitu lah pendahuluan yang disampaikan oleh pembicara di acara seminar parenting pada  minggu lalu. Sampai-sampai saya sempat tidak mengerti maksudnya hehe.. ga fokus.

Jadi ceritanya pada hari minggu kemarin saya dan suami datang ke seminar parenting yang bertempat di daerah dago. Saat itu kami berangkat dari daerah gedebage. Seminar akan dimulai pada pukul 8, otomatis kami harus berangkat lebih pagi untuk menempuh jarak yang cukup jauh. Betapa paginya dan betapa rajinnya kami bukan! 😀 Tetapi yang hebat bukan lah saya, melainkan pak suami lah yang harus banget saya apresiasi. Terima kasih lho pak udah mau diajak datang ke acara seserius dan sepagi itu 😀

Yak, tema seminarnya menarik menurut saya. Ditambah pembicara yang mumpuni. Kata beliau mengatasi marah tidak lah mudah. Pada awalnya beliau menjelaskan tentang mengapa anak marah. Pada umumnya marah merupakan efek dari kekecewaan, keinginan yang tidak terpenuhi, tidak diikuti, tidak dihiraukan, atau karena tersakiti. Tetapi sebenarnya tahu kah wahai ibu bapak apa akar masalahnya… yaitu emosi yang tidak tersalurkan! Sederhananya dia tidak tahu bagaimana menyampaikan apa yang dia rasa. Ujung-ujungnya nangis. Ujung-ujungnya marah. Pada saat marah, komunikasi yang baik tidak terbentuk. Para orang tua cenderung membiarkan sang anak ketika marah, dengan alasan membuat jera dan supaya dia berpikir atau malah langsung memborbardir dengan kata-kata keras yang sebenarnya ingin tegas padahal tidak. Ketika masih anak-anak, mana tau anak itu salah atau benar, baik atau buruk. Orang tua beranggapan apabila anak menangis atau marah lalu diikuti kemauannya, itu akan membentuk sifat manja yang akan menjadi senjatanya. Ya, memang benar. Tetapi tidak seharusnya juga membiarkannya agar diam. Menurut pembicara itu, yang benar adalah memberi tuntunan, dengan cara mengarahkan agar dia mampu bercerita apa yang dia rasa dan dia mau. Apabila apa yang dia mau tidak baik menurut orang tua, maka orang tua membuat keputusan yang komunikatif dengan sang anak.

Jika saya rangkum menggunakan format CAPA *mentang-mentang kerjaannya bikin CAPA :D*, inti pesan yang saya tangkap dari nasihat beliau adalah sebagai berikut:

Problem: Anak marah

Root cause analysis:

  • Emosi tidak tersalurkan
  • Anak tidak mampu menyampaikan perasaannya
  • Anak tidak tahu cara berkomunikasi

Corrective Action & Preventive Action to be completed:

  • Melatih anak agar mampu berkomunikasi dengan baik dan benar
  • Olah rasa anak mengenai perasaan sedih, senang, marah, malu dll dan ajarkan penyampaian perasaan tersebut melalui kata-kata komunikasi yang baik dan benar
  • Beri tuntunan
  • Beri aturan
  • Orang tua harus bekerja ekstra menangani kondisi ini, jangan sama-sama panas

Implementation: Lakukan CAPA sejak anak masih kecil untuk menguatkan proses pembentukan karakter.

Verification: verifikasi bahwa ketika ada suatu kebutuhan anak tidak terpancing untuk marah/ tidak didahului marah.

Jika berhasil, CAPA closed.

Fyi, narasumber yang menjadi pembicara di seminar itu adalah Ust. Mohammad Fauzil Adhim.Saya tahu beliau dari facebook dan saya sering mengikuti tulisannya.

Thanks ilmunya pak. Semoga bermanfaat bagi ibu bapak jugaa 😀

Salam,

Hal yang Tidak Perlu Diperdebatkan

Imagine all the doubt, worry, and confusion that we would eliminate if we quit thinking about parenting in terms of right and wrong. The mommy wars would go away entirely. Inilah yang sedang terjadi akhir-akhir ini di media sosial Indonesia atau bahkan di daerah belahan lain di dunia. Dimulai dari cuap-cuap monolog yang menyulut twitwar, sampai dengan debat kusir yang tiada berakhir. Kelompok pertama berkata inilah pilihan terbaik, kelompok lain berkata salah, dan kelompok terakhir mencoba untuk netral. Saya termasuk yang sensitif juga dong kalau gitu hehe.. soalnya sampai menyinggung topik ini di blog pribadi. Tapi jika saya memberikan opini juga artinya saya hanya menambah beban pikiran, kecemasan dan kegalauan mengenai benar atau salahnya parenting things dong ya. Ah capek dong..:D

Tapi.. saya gak tahan pengen share opini seseorang di blog pribadi (bilang aja ga punya bahan tulisan hehe). Yah apa pun, monggo diresapi kalimat per kalimat yang penuh makna ini, semoga bermanfaat 😀

Imagine all the doubt, worry, and confusion that we would eliminate if we quit thinking about parenting in terms of right and wrong. The mommy wars would go away entirely. In reality, there is only a right way and a wrong way for your family. Part of being a successful mother is learning through experience what works in you unique situation and with your unique kids. No two families need or want the same things, so we’ve got to let go of the notion that some mythical, perfect parenting tactic works. –Heather Hale

Anw, bagi saya membahas topik ini adalah lagu lama. Lagu lama yang akan selalu menjadi kenangan untuk dibahas lagi di masa depan pada lain waktu oleh beda generasi.

Sumber: http://www.familyshare.com/parenting/5-motherhood-myths-that-are-dragging-you-down

Seni Bahagia Calon Ibu

Happiness is Contagious
By William Martin
Excerpt from The Parent’s Tao Te Ching

We all want our children to be happy.
Somehow, some way today
Show them something that makes you happy,
Something you truly enjoy.
Your own happiness is contagious.
They learn the art from you.

Sumber: http://www.definingparent.com

Semalam saya merasakan ada letupan di dalam perut saya. Mungkin cegukan atau hentakan. Saya coba menepuk balik sambil berkata “tepuk”. Lama-lama letupan hilang. “Yaah..Cuma sebentar mainnya”, gumam saya di dalam hati.

Menurut buku yang saya baca, ibu hamil akan merasakan gerakan janin mulai usia 16 minggu apabila itu kehamilan kedua dan seterusnya. Sedangkan untuk kehamilan yang baru kali pertama, ibu hamil akan merasakan gerakannya ketika berusia 17-18 minggu. Entah saya merasakan sugesti atau bukan, semalam itu saya mendengar bunyi “lup…lup..lup” beberapa kali dari perut ini. Kalau pun itu hanya bayangan saja, saya cukup merasa senang.

We all want our children to be happy. Ya, kebahagiaan yang sebenarnya dari dalam hati, bukan karena materi atau makhluk. Sekali pun pasti melewati cobaan hidup, kebahagiaan tetap dirasakan dengan caranya yang sesuai. “Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155).

Somehow, some way today. Show them something that makes you happy, something you truly enjoy. Selain ibu dan janin berada dalam satu raga, ternyata keduanya pun berada dalam satu sisi emosi. Katanya sejak di dalam kandungan janin dapat merasakan emosi yang sedang dialami oleh ibunya meliputi emosi sedih, cemas, atau bahagia. Mungkin inilah salah satu faktor yang membentuk nature mereka. Banyak artikel parenting yang menjabarkan cara-cara membentuk anak saleh sejak dalam kandungan. Salah satunya adalah melatih aspek kongnitif mereka dengan cara mengajak ngobrol, memberi rangsang sentuhan, ketukan, suara, dll, termasuk dengan cara menjaga emosi ibu agar anak merasa nyaman. Emosi ibu dapat dijaga dengan melakukan sesuatu yang ibu suka dan tentu dukungan dari pasangan.

Your own happiness is contagious. Silakan baca blog saya di ODOPfor99days day 4 atau klik link ini. Kebahagiaan itu menular sampai 4 lapis kontak sosial! Artinya jika saya bahagia, kemungkinan temannya temannya teman saya menjadi bahagia juga meningkat. Teman yang secara langsung kontak sosial dengan kita yang sedang bahagia akan meningkat juga kemungkinan menjadi bahagianya sebesar 15%. Bayangkan jika teman itu adalah bayi yang ada di perut kita. Itulah sebabnya ibu hamil dianjurkan untuk selalu bahagia atau setidaknya mengontrol emosinya agar tetap stabil. Kesedihan juga katanya menular tetapi lebih kurang efektif dibandingkan dengan kebahagiaan. Masya Allah.

They learn the art from you. Saya mengajarkan kata “ketuk” sambil mengetuk-ngetuk perut dan seolah-olah mengajak bermain. Ketika masih di dalam perut, the art yang bisa diajarkan masih sangat terbatas, tetapi ketika sudah dilahirkan they really learn the art from you how to keep happy in every situation. Thus show them something that makes you happy, something you truly enjoy. Pertanyaannya adalah apakah sekarang Anda telah memiliki ‘something you truly enjoy’? *retorika* haha.. Menurut Aa Gym, cara terbaik mengajarkan disiplin adalah dengan memberi contoh disiplin dan menerapkannya kepada diri sendiri. Coba hubungkan nasihat tersebut dengan ungkapan they learn the art from you. Kalau istilah populer sekarang they learn about how to be a passionate person from you. Then congratulation! Anda telah menunjukkan seninya dengan baik.

***

Catatan: Tulisan ini ditujukan sebagai bahan introspeksi apakah saya sudah menjalankan apa yang saya tulis di sini. Bukan berarti bahwa saya telah menjalankan ini secara konsisten lhoo 😀

Menjadi Orang Tua

Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang lebih baik daripada dirinya. Pekerjaan rumah calon orang tua sebelum memiliki anak adalah bagaimana membekali diri agar ketika sudah dinyatakan pantas, bekal tersebut dapat diimplementasikan dengan baik dari hari ke harinya. Tidak ada yang sempurna. Walaupun sudah mengalami asam manis kehidupan, akan ada kalanya kesalahan itu terjadi. Bukan salah yang sebenarnya, mungkin.

Saya adalah produk didikan orang tua saya. Waktu saya jauh lebih muda, mungkin tidak terpikir oleh saya bahwa didikan orang tua yang begini dan begitu akan berdampak sesuatu pada diri saya nantinya atau menyadari bahwa didikan itu akan membentuk saya yang seperti sekarang ini.

Pada awal pernikahan adalah masa-masa saya menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga suami. Saya mengenal suami sejak 10 tahun yang lalu. Di tahun ke-5, saya mulai dekat dengannya (kalau istilah sekarang mah pacaran). Di tahun ke-8 kami berpisah dan di tahun ke-9 kami balikan lagi ha ha.. Sampai akhirnya pada tahun ke-10 kami menikah. Waktu 10 tahun cukup untuk mengetahui sifat dan kebiasaannya bukan? Ya, tentu. Lalu setelah menikah apakah semuanya sudah cukup? Tentu tidak.

Pernikahan membuat saya lebih memahami akan dirinya. Saya menjadi lebih mengerti kenapa sifatnya seperti itu setelah saya mengenal lebih jauh kedua orang tuanya… Oh ternyata sisi dia yang ini mirip ibunya, dan sisi dia yang itu mirip bapaknya. Hingga pada akhirnya saya pun menganalisa diri saya sendiri dan darimana sifat saya ini bersumber.

Inilah salah satu proses pembekalan diri saya untuk calon anak saya nanti. Setelah membedah sifat dan sumbernya saya menemukan kesyukuran, kegembiraan bahkan kekecewaan. Untuk sifat yang baik akan selalu dijaga dan dijunjung sedangkan untuk sifat yang belum sempurna, ada keinginan untuk menghindari sifat itu dan membuatnya jauh lebih baik. Agak naïf memang, bagaimana kalau sifat itu sudah tertanam dalam alam bawah sadar saya, dan bukankah tindakan kita sebagian besar dipengaruhi oleh alam bawah sadar?

Role mode. Saya juga mempelajari role mode orang tua yang baik menurut saya. Catat, bukan berarti orang tua saya bukanlah role mode ya, beliau adalah orang tua terbaik yang saya miliki dan saya semakin menyadarinya setelah saya akan menjadi orang tua. Saya banyak membaca referensi tentang orang tua yang sukses membimbing anaknya, yang terbaru adalah saya menelusur sosok orang tua di era modern, yaitu orang tua dari Isyana Sarasvati, dimana beliau ternyata orang hebat yang mampu mengarahkan bakat kedua anaknya, salah satunya bakat bermusik Isyana. Intermezzo, kenapa coba saya berhenti dan menelusur sosok Isyana Sarasvati? Ha.. ha.. sudah pasti karena sekarang Isyana sedang menjadi godaan para pria… saya masih geli membaca joke ini bahwa godaan pria sekarang ada 4, yaitu harta, tahta, Raisa, dan Isyana 😀

Pada akhirnya setiap orang pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang lebih baik dari dirinya. Semoga tulisan ini menjadi penyemangat saya untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik. Setiap saya merasakan ketidaknyamanan ketika sedang hamil, saya langsung ingat bahwa saya sedang diberi karunia yang luar biasa oleh Allah. Inilah titik dimana saya sadar bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah dan sungguh membutuhkan pengorbanan, kesabaran, dan keihklasan sejak awal.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam 2 tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (QS. Luqman: 14)